Monthly Archives: December 2008

Persepsi

persesi-kodokPersepsi itu apa sih? Persepsi adalah proses pemahaman ataupun pemberian makna atas suatu informasi terhadap stimulus. Stimulus didapat dari proses penginderaan terhadap objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan antar gejala yang selanjutnya diproses oleh otak. Proses kognisi dimulai dari persepsi. sumber.

Persepsi, menurut Rakhmat Jalaludin  adalah pengalaman tentang objek, peristiwa , atau hubungan – hubungan yang di peroleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. (1998: 51).

Cara pandang persepsi timbul karena adanya respon terhadap stimulus. Stimulus yang di terima seseorang sangat komplek, stimulus masuk ke dalam otak, kemudian di artikan, di tafsirkan serta di beri makna melalui proses yang rumit baru kemudian di hasilkan persepsi (Atkinson dan Hilgard, 1991 : 209).

Seringkali kita di hadapkan dengan berbagai hal dalam kehidupan. Mulai dari kehidupan keluarga, lingkungan kerja ataupun lingkungan dimana kita berada. Setiap berinteraksi  dengan banyak orang  akan timbul yang  persepsi. Persepsi timbul di karenakan kita sering bertukar informasi  atau  berinteraksi baik secara verbal maupun non verbal.

Misalkan kita melihat orang di sebuah tempat orang itu terlihat rapi , bersih wajah yang nyaman untuk dilihat, saya bisa mempersepsikan bahwa orang itu cakep, keren, rapi dan dalam kehidupannya orang itu adalah baik. Lain lagi bila saya melihat orang terlihat awut – awutan, bertato, mata yang penuh tatapan kesadisan tentu yang timbul di persepsi saya bahwa orang itu adalah orang jahat ataupun orang yang perlu di jauhi karena hawanya saja sudah  terlihat  membuat rasa takut. Nah bagaimana kalau hal itu terjadi dengan diri saya, saya sudah mencoba menjalankan sesuatu hal yang saya anggap betul mengikuti rule atau peraturan yang ada, berusaha menegur orang yang memang selakyaknya di tegur.

Persepsi orang terhadap saya bahwa saya ini adalah orang yang sok tahu sok pinter dan lain – lain. Itu adalah khasanah personal jika di tarik ke ranah yang lebih luas di dalam pekerjaan, dalam perusahaan akan pengaruh terhadap money tentunya. Satu hal yang perlu di ambil kesimpulan di sini bahwa kita terkadang berbeda persepsi dengan apa yang ada di benak orang lain. Dan hal ini yang terkadang memicu adanya konflik. Bagaimana menyelesaikan atau  setidaknya persepsi orang itu bisa di rubah atau di tempatkan pada persepsi yang sebenarnya?

Okay persepsi baik tentunya tidak jadi masalah justru nilai positif  dan yang di harapkan tetapi kalau persepsi buruk , siapa di dunia ini yang mau di persepsikan buruk ? tentunya tidak ada. Di kala kita terkena persepsi yang kurang bagus atau tidak baik satu caranya untuk menyelesaikan yaitu dengan memberikan INFORMASI. Kenapa dengan informasi ? misal saya di persepsikan orang bahwa saya sok pinter atau ndeso ( lah mang ndeso ya). Ya orang tersebut di ajak bicara dengan pembicaraan yang berisi bahwa saya kelihatan seperti itu karena memang saya suka yang tidak  berlebihan jangan karena logat trus dibilang ndeso padahal pimpinan di negeri ini adalah juga dari ndeso misalkan  dengan persuasi itu berarti kita telah memberikan iformasi .  Kemudian orang tersebut akan berfikir bahwa persepsi dia yang seperti itu mulai dengan sendirinya berubah atau setidaknya berkurang kecenderungan untuk negatif. Nah kekontinuitasan untuk memberikan informasi akan membuat persepsi semakin baik.

Jadi bisa di simpulkan bahwa persepi itu bisa di rubah dengan memberikan  INFORMASI terhadap seseorang atau kelompok atau organisasi yang memiliki persepsi tersebut, dan pemberian informasi ini tidak perduli informasi itu bermuatan negatif atupun positif.

Selanjutnya faktor – faktor apa yang mempengaruhi persepsi?

Maryamah Karpov

Sore hari minggu 8 desember kemaren saya jalan ke mall citra land sehabis seharian nyate kambing hasil dari pembagian hari idul Adha. Punya rencana untuk ke toko buku mencari buku tentang Public relation dan metodologi penelitian kualitatif. Dengan semangat empat lima langsung naik ke lantai atas di mana gramedia berada. Searching kanan – kiri di hamparan buku yang tertata di rak tak menemukan yang di cari. Ada yang menarik perhatian dari pertama masuk ” Maryamah Karpov” satu buku yang saya tunggu kehadiranya. Setelah saya menuntaskan edisi – edisi pendahulunya. Dan akhirnya saya putuskan tuk membeli novel yang satu ini.

Ini sekedar cuplikan dari novel itu :

Maryamah Karpov adalah novel keempat karya Andrea Hirata yang diterbitkan oleh Bentang Pustaka pada November 2008.Maryamah Karpov merupakan buku terakhir dari Tetralogi Laskar Pelangi dan terdiri dari 2 buku , bagian pertamanya dengan sub judul : Mimpi-Mimpi Lintang.Di buku ini rencananya Andrea akan mengisahkan tentang Arai, Lintang, A Ling, dan beberapa pertanyaan yang belum sempat terjawab di 3 buku terdahulu.

Maryamah Karpov dilaunching pada tanggal 28 November 2008 di toko buku MP Book Point, Jakarta, dan beredar secara resmi mulai tanggal 29 November 2008.Launching buku ini mendapatkan expose yang cukup besar dari media massa dan mendapat perhatian banyak dari khalayak pecinta buku terutama oleh penggemar Tetralogi Laskar Pelangi.Bahkan ada beberapa pihak yang menganggap antusiasme terhadap launching buku Andrea Hirata ini sebagai JK Rowling– nya Indonesia.

Petikan dari buku Maryamah Karpov :

Keberanian dan keteguhan hati telah membawa Ikal pada banyak tempat dan peristiwa. Dengan sepenuh hati, Ikal rela berlayar mengunjungi pulau “Batuan” atau lebih dikenal sebagai pulau tempat para lanun berkumpul dan bersembunyi dari polisi. Ikal bersusah payah ke pulau itu hanya untuk bertemu A Ling. ia tidak peduli akan nyawanya. Keberaniannya ditantang ketika tanda-tanda keberadaan A Ling tampak. Dia tetap mencari, meski tanda-tanda itu masih samar. Dapatkah keduanya bertemu kembali? Novel ini menceritakan semua hal tentang Laskar Pelangi, A Ling, Arai, Lintang, dan beberapa tokoh dalam cerita sebelumnya. Tetap dengan sihir-sihir kata-katanya, Anda akan dibawa Andrea pada kisah-kisah yang menakjubkan sekaligus mengharukan. sumber

Ending dari cerita ini ikal menemukan kembali A Ling yang telah di carinya sampai mengelilingi eropa tapi akhirnya bisa bertemu kembali di pulau batuan di sarang perompak. Sedikit bosan saya membacanya tak seperti membaca edensor tapi di ending cerita bisa menarik lagi.

Salute to Mr andrea Hirata ( keep dream) and make it true.

Install LDAP Plugin in WordPress WP-MU

Simple think to do when our wordpress WP-Mu want to be connected to LDAP server authentication. Simple but make me headcahe, I need few time to found this. About one month I was explore in the  internet also try develop it so difficult brother. Finally  yesterday I got from the sourceforge.net the  plugin developed by Aaron chunk.

Ok let’s start to install it just follop this instruction:

1. Download the plugin Download

2. Extrac it into ->> /public_html/wp-content/mu-plugins/ (depend on your wpmu folder)

3. Setting from the browsher WP-Mu admin.

Suatu konteks bahasa yang perlu di cermati

Agama-agama itu tidak menjawab keinginannya sebagai agama yang ia anggap cukup masuk akal, agama yang menjelaskan seluruh aspek kehidupan, agama yang mengajarkan kepekaan. Agama-agama yang ia pelajari, Yudaisme dan Kristen saling tuding bahwa agama lain di luar agama itu, salah. sumber

Tergelitik untuk mencermati tulisan di atas, di jelaskan bahwa Yudaisme dan Kirsten saling tuding bahwa agama lain di luar agama itu adalah salah. Yang jadi pemikirannya adalah bahwa jelas sekali dalam islam juga mengatakan bahwa dien selain agama islam adalah salah dan tidak di terima di sisi ALlah. Jadi dari sisi pembahasaan kalau di cermati bisa di artikan bahwa Kristen  Yudaisme dan Islam adalah juga termasuk agama yang salah.

Nah akan lebih baik  apabila jurnalis  memperhatikan pemaknaan kata – perkata dari tulisannya. Akan bisa mengukur profesionalisme dan kredibilitas dalam setiap tulisan – tulisannya.  Apabila kecermatan dan keprofesional dalam olah kata tidak baik tentunya apa yang terjadi. Pembacapun akan mempunyai asumsi dan pemikiran bahwa itu adalah betul bagi yang awam dan kurang memahami apalagi. Nah di kala hal itu termuat dan terpaparkan di media tentunya akan membuat hal yang fatal. Apalagi di era kebebasan pres yang sudah kebablasan seperti saat ini. Seandainya media yang terlihat lurus dan bagus tetapi ternyata dalam pembahasannya kurang pas dan cenderung kurang profesional  kemana lagi audiens di indonesia akan terbawa?

Teman – teman jurnalis, hal ini terpaparkan bukan karena kebencian tapi justru kegundahan bagaimana hal seperti ini perlu di cermati dan di berikan pelurusan sebagai pendorong untuk lebih objektif, profesional, independent dan juga memberikan informasi yang kredibel.

Citizen Journalism: Sebuah Fenomena

Benar sekali apa yang dikatakan oleh Steve Outing dalam tulisannya “The 11 Layers of Citizen Journalism”, istilah citizen journalism saat ini menjadi one of the hottest buzzword dalam dunia jurnalistik.

Rasanya ketinggalan jaman kalau sampai ketinggalan kata-kata ini. Citizen journalism diucapkan oleh siapapun yang mengamati perkembangan media, baik mereka yang berada di lingkaran dalam media seperti para praktisi, kru dan pemilik media, mau pun mereka yang berada di luar media, seperti para pengamat media. Kurang gaul, rasanya, kalau sampai ketinggalan isu ini.

Bagi yang sudah lama mencermati dinamika dunia jurnalistik dari esensinya yang paling dalam, citizen journalism sebenarnya cuma masalah beda-beda istilah.

Spiritnya tetap sama dengan public journalism atau civic journalism yang terkenal pada tahun 80-an. Yaitu, perkara bagaimana menjadikan jurnalisme bukan lagi sebuah ranah yang semata-mata dikuasai oleh para jurnalis.

Dikuasai dalam arti diproduksi, dikelola, dan disebarluaskan oleh institusi media, atas nama bisnis ataupun kepentingan politis.

Lantas, apa bedanya fenomena public journalism dengan rame-rame soal citizen journalism sekarang ini? Ada. Perbedaannya, menurut saya, terletak pada kemajuan teknologi media sehingga semangat partisipatoris yang melibatkan publik dalam mendefinisikan isu semakin terakomodasi.

Selain itu, kemajuan teknologi media membuat akses publik untuk memasuki ranah jurnalistik semakin terbuka. Semangatnya, sekali lagi, tetap sama. Yaitu, mendekatkan jurnalisme pada publiknya. Bedanya, open source di masa sekarang semakin niscaya saja, ketika teknologi media kian berkembang.

Mendefinisikan Citizen Journalism

Pada dasarnya, tidak ada yang berubah dari kegiatan jurnalisme yang didefinisikan seputar aktivitas mengumpulkan, mengolah, dan menyebarluaskan berita. Citizen journalism pada dasarnya melibatkan kegiatan seperti itu.

Hanya saja, kalau dalam pemaknaan jurnalisme konvensional (tiba-tiba saja menjadi jurnalisme old school setelah citizen journalism muncul), yang melakukan aktivitas tersebut adalah wartawan, kini publik juga bisa ikut serta melakukan hal-hal yang biasa dilakukan wartawan di lembaga media. Karena itu, Shayne Bowman dan Chris Willis lantas mendefinisikan citizen journalism sebagai ‘…the act of citizens playing an active role in the process of collecting, reporting, analyzing, and disseminating news and information”[2].

Ada beberapa istilah yang dikaitkan dengan konsep citizen journalism.Public journalism, advocacy journalism, participatory journalism, participatory media[3], open source reporting, distributed journalism, citizens media, advocacy journalism, grassroot journalism, sampai we-media.

Civic journalism, menurut Wikipedia, bukan citizen journalism karena dilakukan oleh wartawan walau pun semangatnya tetap senada dengan public journalism, yaitu (lebih) mengabdi pada publik dengan mengangkat isu-isu publik.

Citizen journalism adalah bentuk spesifik dari citizen media dengan content yang berasal dari publik. Di Indonesia, istilah yang dimunculkan untuk citizen journalism adalah jurnalisme partisipatoris atau jurnalisme warga.

J.D. Lasica, dalam Online Journalism Review (2003)[4], mengategorikan media citizen journalism ke dalam 5 tipe:

  1. Audience participation (seperti komenter user yang diattach pada kisah-kisah berita, blog-blog pribadi, foto, atau video footage yang diambil dari handycam pribadi, atau berita lokal yang ditulis oleh anggota komunitas).
  2. Situs web berita atau informasi independen (Consumer Reports, Drudge Report).
  3. Situs berita partisipatoris murni (OhmyNews).
  4. Situs media kolaboratif (Slashdot, Kuro5hin).
  5. Bentuk lain dari media ‘tipis’ (mailing list, newsletter e-mail).
  6. Situs penyiaran pribadi (situs penyiaran video, seperti KenRadio).

Ada dua hal setidaknya yang memunculkan corak citizen journalism seperti sekarang ini. Pertama, komitmen pada suara-suara publik. Kedua, kemajuan teknologi yang mengubah lansekap modus komunikasi.

Sejarah citizen journalism sendiri bisa dilacak sejak konsep public journalism dilontarkan oleh beberapa penggagas, seperti Jay Rosen, Pew Research Center, dan Poynter Institute.

Bersama Wichita News, Eagle, Kansas, para penggagas citizen journalism mencobakan konsep public journalism dengan membentuk panel diskusi bagi publik guna mengidentifikasi isu-isu yang dianggap penting bagi publik.

Berdasarkan identifikasi tersebut, liputan kemudian disusun.

Public journalism acap dikaitkan dengan konsep advocacy journalism karena beberapa media bergerak lebih jauh tidak saja dengan mengangkat isu, tetapi juga mengadvokasikan isu hingga menjadi sebuah ‘produk’ atau ‘aksi’—mengegolkan undang-undang, menambah taman-taman kota, membuka kelas-kelas untuk kelompok minoritas, membentuk government watch, mendirikan komisi pengawas kampanye calon walikota, dan lain-lain.

Public atau citizen journalism juga dikaitkan dengan hyperlocalism karena komitmennya yang sangat luarbiasa pada isu-isu lokal, yang ‘kecil-kecil’ (untuk ukuran media mainstream), sehingga luput dari liputan media mainstream.

Public journalism dengan model seperti ini mendasarkan sebagian besar inisiatif dari lembaga media. Kemajuan teknologi dan ketidakterbatasan yang ditawarkan oleh Internet membuat inisiatif semacam itu dapat dimunculkan dari konsumen atau khalayak.

Implikasinya cukup banyak, tidak sekadar mempertajam aspek partisipatoris dan isu yang diangkat.

Citizen journalism: Isu dan Implikasi

Saya termasuk yang meyakini bahwa kemajuan teknologi (komunikasi) mengubah lansekap atau ruang-ruang sosial kita.

Perkembangan citizen journalism belakangan ini menakjubkan buat saya—yang dibesarkan dalam tradisi old school journalism—karena mengundang sejumlah implikasi yang tidak kecil.

Beberapa di antaranya, yang teramati oleh saya, adalah sebagai berikut:

1. Open source reporting: perubahan modus pengumpulan berita. Wartawan tidak menjadi satu-satunya pengumpul informasi. Tetapi, wartawan dalam konteks tertentu juga harus ‘bersaing’ dengan khalayak, yang menyediakan firsthand reporting dari lapangan.

2. Perubahan modus pengelolaan berita. Tidak hanya mengandalkan open source reporting, media kini tidak lagi menjadi satu-satunya pengelola berita, tetapi juga harus bersaing dengan situs-situs pribadi yang didirikan oleh warga demi kepentingan publik sebagai pelaku citizen journalism.

3. Mengaburnya batas produsen dan konsumen berita. Media yang lazimnya memosisikan diri sebagai produsen berita, kini juga menjadi konsumen berita dengan mengutip berita-berita dari situs-situs warga. Demikian pula sebaliknya. Khalayak yang lazimnya diposisikan sebagai konsumen berita, dalam lingkup citizen journalism menjadi produsen berita yang content-nya diakses pula oleh media-media mainstream. Oh my God, duniaaa….

4. Poin 1-2-3 memperlihatkan khalayak sebagai partisipan aktif dalam memproduksi, mengkreasi, mau pun mendiseminasi berita dan informasi. Pada gilirannya faktor ini memunculkan ‘a new balance of power’—distribusi kekuasaan yang baru. Ancaman power yang baru (kalau mau disebut sebagai ancaman) bagi institusi pers bukan berasal dari pemerintah dan ideologi, atau sesama kompetitor, tetapi dari khalayak atau konsumen yang biasanya mereka layani!

5. Isu profesionalisme: apakah setiap pelaku citizen journalism bisa disebut wartawan? Kenyataannya, citizen journalism mengangkat slogan everybody could be a journalist! Apakah blogger bisa disebut sebagai the real journalist?

6. Isu etika: apakah setiap pelaku citizen journalism perlu mematuhi standar-standar jurnalisme yang berlaku di kalangan wartawan selama ini sehingga produknya bisa disebut sebagai karya jurnalistik? Kita bicara soal kaidah jurnalistik yang selama ini diajarkan pada para wartawan—mungkinkah kaidah itu masih berlaku? Lazimnya, yang acap disentuh dalam wacana kaidah jurnalistik adalah soal objektivitas pemberitaan, dan kredibilitas wartawan/media.

7. Isu regulasi: perlukah adanya regulasi bagi pelaku citizen journalism? Kaitannya dengan etika, profesionalisme, komersialiasi, dan mutu content.

8. Isu ekonomi: munculnya situs-situs pelaku citizen journalism yang ramai dikunjungi menimbulkan konsekuensi ekonomi, yaitu pemasang iklan, yang jumlahnya tidak sedikit. Pers, menurut Jay Rosen pada dasarnya adalah media franchise atau public service franchise in journalism.

Kalau citizen media kini muncul dan juga bermain dalam ranah komersial, ini hanya merupakan konsekuensi ‘the enlarging of media franchise’. Isu ekonomi juga mengundang perdebatan lain. Kalau tadinya para kontributor citizen journalism memasukkan beritanya secara sukarela, kini mulai muncul perbincangan bagaimana seharusnya membayar mereka.

Ada bayaran, tentu ada standar yang harus dipatuhi sesuai bayarannya. Akhirnya, ini mengundang masuknya isu profesionalisme—sesuatu yang dalam konteks tertentu akhirnya malah ‘berlawanan’ dengan semangat citizen journalism.

9. Bagaimana nasib the old school journalism di masa depan dengan munculnya citizen journalism? Apakah tradisi old school journalism akan tetap bertahan di masa depan?
Itulah beberapa isu yang akan selalu diangkat dan didiskusikan dalam seminar mana pun yang berbicara ihwal citizen journalism.

Citizen Journalism di Indonesia

Saya mulai mengamati fenomena public journalism di pertengahan 1990-an. Satu hal yang menggelitik saya adalah apakah konsep development journalism atau jurnalisme pembangunan yang diajarkan dalam kurikulum studi jurnalistik tahun 1980-1995an (saya adalah salah satu produknya!) merupakan wujud public journalism? Saya putuskan, TIDAK.

Pertama, aspek partisipatorinya tidak nyata. Isu tetap diputuskan oleh media yang bersangkutan (acap atas ‘restu’ Departemen Penerangan)—walau slogan pembangunan, di manapun, selalu menyatakan mengabdikan diri pada kepentingan publik.

Kedua, ideologi jurnalisme pembangunan pada dasarnya adalah ideologi komunikasi pembangunan yang sudah bangkrut di tahun 80-an (dibangkrutkan oleh para penggagasnya sendiri seperti Everett M. Rogers), karena dianggap terlalu ideologis, utopis, dan totaliter.

Saya tertarik mengamati geliat citizen journalism di Indonesia lewat diskusi dengan teman-teman aktivis soal open source reporting yang tampaknya senada betul dengan tulisan-tulisan Pepih Nugraha di harian Kompas, yang mengangkat hal-ihwal participatory journalism.

Saya mengikuti Indonesiasatu.net yang memproklamirkan diri sebagai jurnalisme warga. Undangannya untuk menjenguk situs ini meyakinkan, tampilannya tergarap dengan baik (walau updatingnya lambat), ada profil warga teladan, tapi jujur saja saya kecewa karena tidak menemukan sesuatu yang berbeda dengan harian lain.

Ini seperti membaca berita lokal dari koran lokal yang bisa diakses lewat online media lokal, tanpa situs ini perlu memproklamirkan diri sebagai (sosok) pengusung jurnalisme warga.

Hyperlocalism yang saya bayangkan bukan seperti ini. Begitu banyak berita gado-gado tanpa struktur gagasan yang jelas, tanpa memperlihatkan pada pengunjung situsnya ini sebenarnya mau dibawa ke mana.

Ini murni open source reporting, tapi saya bertanya-tanya, apa ini wujud citizen journalism (alih-alih citizen reporting)?

Pesta Blogger Indonesia semakin menguatkan seruan citizen journalism. Menjamurnya blog di mana-mana memang fenomena luarbiasa (13.000 blog didirikan setiap hari!).

Tapi, ketika mengunjungi beberapa blog yang katanya banyak di-hit, saya hanya mendapatkan curhat-curhat personal tanpa melihat apa pentingnya ini bagi publik? (Walau, jujur saja, saya menikmati curhat personal itu).

Atau, isu publik macam apa yang mestinya bisa dimaknai dari curhat personal tersebut? Saya beranggapan, blog memang membuka kemungkinan open source reporting, menjamurnya blog dan blogger adalah kondisi yang kondusif untuk memunculkan citizen journalism, tapi sekadar ngeblog saja tidak cukup untuk diberi predikat sudah ber-citizen journalism.

Citizen journalism, dengan kata lain, is not that easy!

Sehari setelah Pesta Blogger Indonesia usai, Harian Republika mengumumkan lewat iklan besar-besaran akan menjadikan medianya sebagai pengusung jurnalisme warga dengan mengundang partisipasi warga lewat ruang yang disediakan bagi mereka untuk sejumlah isu: laporan utama, laporan traveling, sampai berbagi resep.

Sejauh ini saya lihat berbagi resep-lah yang menjadi wujud jurnalisme warga di Republika. Penulis resepnya jadi jurnalis, dan Ibu saya emoh ikut-ikutan karena tidak tahan dengan predikat ‘jurnalis warga’ lewat resepnya. “Saya emoh jadi wartawan! Apalagi karena resep saya,” kata Ibu saya.

“Berbagi resep ya berbagi resep ajalah, kenapa mesti jadi karya jurnalistik?” kata teman ngerumpi saya. “Sejak kapan resep masakan jadi berita jurnalisme warga?” ini kata rekan yang lebih serius, hehe…. Buat Republika, ini taktik bagus buat enlarging audience—dan enlarging outreach.

Mudah-mudahan dampaknya bagus pada sirkulasi dan iklan. Namun untuk menyebut ini sebagai wujud citizen journalism, saya masih risi, terus-terang saja. Saya lebih suka menyebutnya sebagai open access.

Dari beberapa fenomena tadi, saya belajar banyak hal. Salah satunya adalah soal isu. Saya belajar dari situ bahwa untuk masuk dalam dunia citizen journalism, tampaknya yang mesti dibawa bukan sekadar kemampuan standar pelaporan dan penyusunan berita ala 5W + 1 H.

Tapi juga persoalan bagaimana menjadikan isu ‘the public becomes personal, the personal becomes public’. Tanpa itu, saya pikir, publik cuma mendapatkan sederetan informasi tanpa makna.

Sebuah situs citizen journalism menjadi milik citizen, milik publik, kalau banyak pengunjungnya. Maka, pengelola citizen journalism harus mampu memelihara kandungan situsnya, dan mengundang partisipasi publik, untuk membuka diskusi dalam frame yang jelas (soal mutu, bolehlah diperdebatkan).

Tanpa semua ini, situs sebagus apapun, dan sebombastis apapun slogan jurnalismenya, hanya menjadi situs yang sunyi—diisi, ditonton, dikeploki oleh pengelolanya sendiri. Sayang, karena resources yang begitu potensial, jadi tersia-sia.

Bagaimanapun, saya gembira dengan fenomena baru dan tantangan serius yang dimunculkan oleh citizen journalism.

Saya kira efeknya akan baik buat keduanya, baik bagi publik maupun bagi media mainstream. Sebagaimana sistem pers kuat dibingkai dan dipengaruhi oleh local culture, saya juga percaya, wujud citizen journalism sendiri pada akhirnya akan bervariasi sesuai dengan local culture komunitas yang mengusungnya.

sumber rumahkiri.net