Category Archives: Komunikasi

Blog Perusahaan

Saat ini untuk menemukan blog perusahaan di indonesia sangatlah sulit atau masih sangat jarang. Kebanyakan blog di indonesia bersifat personal atau di kelola secara pribadi. Padahal dengan terus bertambahnya jumlah blogger akan memperuhi jalannya perusahaan dengan tulisan – tulisan mereka mengenai perusahaan ataupun produk dan jasa bahkan sampai ke hal yang positif nah akan berakibat buruk apabila tulisannya bersifat negatif. Maka sudah sewajarnya perusahaanpun melirik penggunaan blog sebagai media komunikasi internal ataupun external perusahaan. Ada beberapa jenis blog perusahaan antara lain sebagai berikut : internal, eksternal, dan blog chief executive officer (CEO).

Blog internal — biasanya diakses lewat Intranet — dibuat dan dibaca oleh karyawan. Ini semacam buletin internal konvensional. Blog ini umumnya dipakai sebagai media partisipasi karyawan dalam setiap isu. Bisa juga dimanfaatkan untuk ajang diskusi, menampung gagasan, dan mengumumkan sesuatu, misalnya jadwal rapat. Ini berguna terutama bila tempat karyawan bekerja terpisah-pisah di beberapa lokasi. Kelebihan blog dibanding mailing list internal adalah sifatnya yang interaktif.

Blog eksternal adalah media komunikasi antara karyawan atau juru bicara perusahaan dan publik, terutama konsumen mereka. Manajemen, misalnya, dapat memakainya untuk mengumumkan daftar produk-produk atau layanan baru — atau produk/layanan yang sudah habis masa edarnya. Ia juga dapat dimanfaatkan sebagai tempat menanggapi serta mengklarifikasi kritik dan isu yang tengah berkembang soal produk layanan atau kebijakan sebuah perusahaan.

Di beberapa perusahaan, semua posting untuk blog eksternal harus diperiksa terlebih dulu oleh pejabat yang berwenang sebelum dipublikasikan. Di beberapa tempat lain, pengunjung bebas mengomentari setiap posting, sebagian lagi menerapkan aturan komentar yang dimoderasi. ( Sumber)

Contoh beberapa perusahaan yang sudah mengadopsi blog antara lain:

  1. http://blog.tempointeraktif.com/
  2. http://blog.liputan6.com/
  3. http://www.virtual.co.id/blog/
  4. http://hermawan.typepad.com/
  5. http://www.perspektif.net/
  6. http://mavericknetwork.biz/
  7. http://mmugmsub.wordpress.com

Ada yang ingin menambahkan atau tau tentang blog perusahaan yang lain silahkan di tambahkan melalui komentar.

Sumber

Prasangka menimbulkan kegagalan persepsi

Persepsi kita sering tidak cermat. Salah satu penyebabnya adalah asumsi atu pengharapan kita. Kita mempersepsikan sesuatu berdasarkan pengharapan kita. Kegagalan persepsi itu bisa di karenakan oleh prasangka.

Dalam keseharian hidup manusia mempunyai klan atau kelompok yang berbeda – beda dan suku yang berbeda – beda.

Semisal di kantor saya yang mempunyai latar belakang yang berbeda – beda ada cina, jawa , sunda , ambon padang dan lain sebagainya. Orang ambon misal di karenakan mereka berwajah angker dan berkulit gelap terkadang menimbulkan prasangka bahwa mereka jahat dan mesti di jauhi. Hal  seperti ini sering terjadi dalam keseharian kita. contoh lain:

Setiap kita pasti mahfum bahwa orang padang adalah orang yang pandai dagang dan pasti kalau membicarakan bisnis tentang dagang memang jagonya, tetapi lain lagi dengan teman saya dia orang padang tetapi lebih memilih bekerja karena dia tidak mempunyai jiwa dagang , setelah saya tanya kenapa sih ko kamu memilih bekerja tidak berdangang dan jawabanya bahwa dia tidak mempunyai jiwa dangan dan lebih enjoy kalau bekerja.

Dari contoh itu bisa di ambil analisa  bahwa prasangka saya bahwa orang padang itu pandai dagang akhirnya menimbulkan persepsi bahwa setiap orang padang pasti pandai dagang.

Istilah prasangka berasal dari kata latin praejudicium, yang berarti preseden atau suatu penilaian berdasarkan keputusan dan pengalaman terdahulu. Richard E Brislin mendefinisikan prasangka sebagai suatu sikap tidak adil, menyimpang atau tidak toleran terhadap sekelompok orang. Walaupun prasangka bisa positif ataupun negatif tetapi pada umumnya menjadi negatif.

Tentunya prasangka ini  berpengaruh terhadap komunikasi apa pengaruhnya terhadap komunikasi kalau begitu? Bila kita berprasangka misal orang berkulit hitam malas, orang jepang militeristik, orang cina mata duitan, wanita lebih bodoh daripada laki -laki, tanpa di dukung dengan data dan fakta yang akurat, maka komunikasi kita tidak akan lancar atau bisa macet dan akan berlanjut ke persepsi kita yang keliru, yang selanjutnya orang lain pun akan mempersepsikan kita begitu juga atau keliru.

Cara terbaik untuk mengurangi prasangka adalah dengan meningkatkan kontak dengan mereka dan mengenal mereka lebih baik, meskipun tidak selalu baik dan berhasil dalam segala situasi yang ada. Semisal di kantor saya yang berasal dari berbagai ras mengembangkan hubungan baik salimg memahami dan menjadikan rekan  kerja walaupun ras masing – masing berbeda sehingga bisa mengurangi atau bahkan menghilangkan prasangka yang tidak tepat.

Manusia makhluk Simbol

Dalam kehidupan sehari – hari kita sebagai manusia selalu berhubungan satu  dengan yang lainnya agar tetap eksis di dunia. Dengan berhubungan tersebut kita menggunakan berbagai bentuk komunikasi baik verbal ataupun non verbal.

Sebagai contoh para politisi yang memenangkan pemilu mereka terlihat wajahnya sumringah dan segar berseri – seri dapat  di artikan kalau mereka bahagia, lain lagi bagi mereka yang kalah menjadi  depresi dan seperti salah satu kader partai GERINDRA di bali yang langsung meninggal terkena serangan jantung tatkala mengetahui pereolehan suaranya jeblok.  Itu semua merupakan simbol atau lambang bahwa dari raut wajah mereka kita bisa mengetahui bagaimana suasana hati dan kondisi mereka.

Dalam keseharian kita menggunkan seragam yang menjadi identitas kita bahwa kita bekerja pada perusahaan pendidikan semisal BINUS, mahasiswa  menggunakan celana jeans dan kaos T-shirt yang bisa di artikan sebagai jiwa muda sporty dan fresh, sebagai pengguna internet memiliki account facebook merupakan trend terkini yang bisa di artikan menjadi tidak ketinggalan jaman. Di sini simbol – simbol dipergunakan dalam kehidupan kita sebagai manusia. Dan salah satu kelebihan manusia dari hewan adalah kemampuan kita menggunakan simbol – simbol tersebut dalam kehidupan sehari – hari

Jadi manusia adalah makhluk yang selalu menggunakan simbol dan simbol  untuk menjaga eksistensinya, dari masa – ke masa siimbol selalu berubah sesuai budaya lingkungan dan daerah dimana simbol itu terdapat.

Mencermati fenomena Facebook say No to megawati

Beberapa hari ini di facebook sedang ada keramaian tentunya ada korelasi besar dengan adanya hajat bangsa indonesia yang sebentar lagi akan diadakan yaitu  mengadakan pemilu.

Di mulai dengan adanya kampanye politik para calon legislatif berorasi di masing masing daerah dengan berbagai macam cara untuk mendapatkan dukungan.

Begitu pula dengan Ibu Megawati yang saya perhatikan lebih menyoroti atau mengangkat  kekurangan Pemerintah sekarang  semisal BLT. Pada saat berorasi beliau meng ucapkan “Bantuan Langsung Tunai (BLT) merendahkan harga diri bangsa. Pernyataan itu disampaikan Megawati Soekarnoputri dalam pidato kampanye terbuka di lapangan Mangli Kecamatan Kaliwates, Jember . Jumat (20/3/2009) sumber.

Di sisi lain  iklan PDIP justru mengangkat tentang BLT seakan – akan BLT itu memang di setujui atau malah di laksakanan dari pihak PDIP dengan cara mengawasi pembagiannya.

Dari sini bisa di lihat bahwa pola komunikasi beliau tidak konsisten dan memancing untuk di perdebatkan semisal di FACEBOOK http://www.facebook.com/pages/Say-NO-to-Megawati/54621826839?ref=nf. Dan PDIP menjawab yang di  muat di kompas online di link ini http://nasional.kompas.com/read/xml/2009/04/06/11414393/PDI-P.Laporkan.Facebook.Say.No.to.Megawati.ke.Bawaslu

Ada juga ulasan dari detik mengenai fenomena facebook bisa di baca di sini  http://pemilu.detiknews.com/read/2009/04/06/091455/1110757/700/mega-dan-prabowo-dihujat-sby-disanjung

Tentunya sebagai mahasiswa kita mesti kritis untuk melihat fenomena tersebut misal menarik di lihat dari sisi komunikasi politik . Komunikasi seperti apakah yang di lakukan oleh Ibu Megawati. Teman – teman komunikasi BiNusian mungkin lebih dalam bisa mengulas dan menuliskanya di blog.

Nikmatnya naik sepeda

Setelah sekian lama gak naik motor, sekarang saya sehari – hari naik sepeda. Simpel aza tujuannya selain mang suka ama sepeda khususnya BMX juga untuk mengganti kegiatan olahraga yang sulit untuk di jadikan rutinitas.

Jarak Binus Kost gak begitu jauh di tempuh dengan sepeda cukup 10 menit jadi cukup dekat. Badan kerasa fit dan juga menyenangkan walaupun terlihat minoritas apalagi kalau ngikutin nafsu mendingan naik angkot or kendaraan lain. Tapi dengan kecintaan sepeda dan dorongan untuk menjaga kesehatan jadi lebih menyenangkan naik BMX.

Dari sisi keuangan tentu cukup mengirit biaya transport yang tidak kurang 5000 rupiah sehari, gantinya bisa buat yang lain.

So I love Bike To Work.

Citizen Journalism: Sebuah Fenomena

Benar sekali apa yang dikatakan oleh Steve Outing dalam tulisannya “The 11 Layers of Citizen Journalism”, istilah citizen journalism saat ini menjadi one of the hottest buzzword dalam dunia jurnalistik.

Rasanya ketinggalan jaman kalau sampai ketinggalan kata-kata ini. Citizen journalism diucapkan oleh siapapun yang mengamati perkembangan media, baik mereka yang berada di lingkaran dalam media seperti para praktisi, kru dan pemilik media, mau pun mereka yang berada di luar media, seperti para pengamat media. Kurang gaul, rasanya, kalau sampai ketinggalan isu ini.

Bagi yang sudah lama mencermati dinamika dunia jurnalistik dari esensinya yang paling dalam, citizen journalism sebenarnya cuma masalah beda-beda istilah.

Spiritnya tetap sama dengan public journalism atau civic journalism yang terkenal pada tahun 80-an. Yaitu, perkara bagaimana menjadikan jurnalisme bukan lagi sebuah ranah yang semata-mata dikuasai oleh para jurnalis.

Dikuasai dalam arti diproduksi, dikelola, dan disebarluaskan oleh institusi media, atas nama bisnis ataupun kepentingan politis.

Lantas, apa bedanya fenomena public journalism dengan rame-rame soal citizen journalism sekarang ini? Ada. Perbedaannya, menurut saya, terletak pada kemajuan teknologi media sehingga semangat partisipatoris yang melibatkan publik dalam mendefinisikan isu semakin terakomodasi.

Selain itu, kemajuan teknologi media membuat akses publik untuk memasuki ranah jurnalistik semakin terbuka. Semangatnya, sekali lagi, tetap sama. Yaitu, mendekatkan jurnalisme pada publiknya. Bedanya, open source di masa sekarang semakin niscaya saja, ketika teknologi media kian berkembang.

Mendefinisikan Citizen Journalism

Pada dasarnya, tidak ada yang berubah dari kegiatan jurnalisme yang didefinisikan seputar aktivitas mengumpulkan, mengolah, dan menyebarluaskan berita. Citizen journalism pada dasarnya melibatkan kegiatan seperti itu.

Hanya saja, kalau dalam pemaknaan jurnalisme konvensional (tiba-tiba saja menjadi jurnalisme old school setelah citizen journalism muncul), yang melakukan aktivitas tersebut adalah wartawan, kini publik juga bisa ikut serta melakukan hal-hal yang biasa dilakukan wartawan di lembaga media. Karena itu, Shayne Bowman dan Chris Willis lantas mendefinisikan citizen journalism sebagai ‘…the act of citizens playing an active role in the process of collecting, reporting, analyzing, and disseminating news and information”[2].

Ada beberapa istilah yang dikaitkan dengan konsep citizen journalism.Public journalism, advocacy journalism, participatory journalism, participatory media[3], open source reporting, distributed journalism, citizens media, advocacy journalism, grassroot journalism, sampai we-media.

Civic journalism, menurut Wikipedia, bukan citizen journalism karena dilakukan oleh wartawan walau pun semangatnya tetap senada dengan public journalism, yaitu (lebih) mengabdi pada publik dengan mengangkat isu-isu publik.

Citizen journalism adalah bentuk spesifik dari citizen media dengan content yang berasal dari publik. Di Indonesia, istilah yang dimunculkan untuk citizen journalism adalah jurnalisme partisipatoris atau jurnalisme warga.

J.D. Lasica, dalam Online Journalism Review (2003)[4], mengategorikan media citizen journalism ke dalam 5 tipe:

  1. Audience participation (seperti komenter user yang diattach pada kisah-kisah berita, blog-blog pribadi, foto, atau video footage yang diambil dari handycam pribadi, atau berita lokal yang ditulis oleh anggota komunitas).
  2. Situs web berita atau informasi independen (Consumer Reports, Drudge Report).
  3. Situs berita partisipatoris murni (OhmyNews).
  4. Situs media kolaboratif (Slashdot, Kuro5hin).
  5. Bentuk lain dari media ‘tipis’ (mailing list, newsletter e-mail).
  6. Situs penyiaran pribadi (situs penyiaran video, seperti KenRadio).

Ada dua hal setidaknya yang memunculkan corak citizen journalism seperti sekarang ini. Pertama, komitmen pada suara-suara publik. Kedua, kemajuan teknologi yang mengubah lansekap modus komunikasi.

Sejarah citizen journalism sendiri bisa dilacak sejak konsep public journalism dilontarkan oleh beberapa penggagas, seperti Jay Rosen, Pew Research Center, dan Poynter Institute.

Bersama Wichita News, Eagle, Kansas, para penggagas citizen journalism mencobakan konsep public journalism dengan membentuk panel diskusi bagi publik guna mengidentifikasi isu-isu yang dianggap penting bagi publik.

Berdasarkan identifikasi tersebut, liputan kemudian disusun.

Public journalism acap dikaitkan dengan konsep advocacy journalism karena beberapa media bergerak lebih jauh tidak saja dengan mengangkat isu, tetapi juga mengadvokasikan isu hingga menjadi sebuah ‘produk’ atau ‘aksi’—mengegolkan undang-undang, menambah taman-taman kota, membuka kelas-kelas untuk kelompok minoritas, membentuk government watch, mendirikan komisi pengawas kampanye calon walikota, dan lain-lain.

Public atau citizen journalism juga dikaitkan dengan hyperlocalism karena komitmennya yang sangat luarbiasa pada isu-isu lokal, yang ‘kecil-kecil’ (untuk ukuran media mainstream), sehingga luput dari liputan media mainstream.

Public journalism dengan model seperti ini mendasarkan sebagian besar inisiatif dari lembaga media. Kemajuan teknologi dan ketidakterbatasan yang ditawarkan oleh Internet membuat inisiatif semacam itu dapat dimunculkan dari konsumen atau khalayak.

Implikasinya cukup banyak, tidak sekadar mempertajam aspek partisipatoris dan isu yang diangkat.

Citizen journalism: Isu dan Implikasi

Saya termasuk yang meyakini bahwa kemajuan teknologi (komunikasi) mengubah lansekap atau ruang-ruang sosial kita.

Perkembangan citizen journalism belakangan ini menakjubkan buat saya—yang dibesarkan dalam tradisi old school journalism—karena mengundang sejumlah implikasi yang tidak kecil.

Beberapa di antaranya, yang teramati oleh saya, adalah sebagai berikut:

1. Open source reporting: perubahan modus pengumpulan berita. Wartawan tidak menjadi satu-satunya pengumpul informasi. Tetapi, wartawan dalam konteks tertentu juga harus ‘bersaing’ dengan khalayak, yang menyediakan firsthand reporting dari lapangan.

2. Perubahan modus pengelolaan berita. Tidak hanya mengandalkan open source reporting, media kini tidak lagi menjadi satu-satunya pengelola berita, tetapi juga harus bersaing dengan situs-situs pribadi yang didirikan oleh warga demi kepentingan publik sebagai pelaku citizen journalism.

3. Mengaburnya batas produsen dan konsumen berita. Media yang lazimnya memosisikan diri sebagai produsen berita, kini juga menjadi konsumen berita dengan mengutip berita-berita dari situs-situs warga. Demikian pula sebaliknya. Khalayak yang lazimnya diposisikan sebagai konsumen berita, dalam lingkup citizen journalism menjadi produsen berita yang content-nya diakses pula oleh media-media mainstream. Oh my God, duniaaa….

4. Poin 1-2-3 memperlihatkan khalayak sebagai partisipan aktif dalam memproduksi, mengkreasi, mau pun mendiseminasi berita dan informasi. Pada gilirannya faktor ini memunculkan ‘a new balance of power’—distribusi kekuasaan yang baru. Ancaman power yang baru (kalau mau disebut sebagai ancaman) bagi institusi pers bukan berasal dari pemerintah dan ideologi, atau sesama kompetitor, tetapi dari khalayak atau konsumen yang biasanya mereka layani!

5. Isu profesionalisme: apakah setiap pelaku citizen journalism bisa disebut wartawan? Kenyataannya, citizen journalism mengangkat slogan everybody could be a journalist! Apakah blogger bisa disebut sebagai the real journalist?

6. Isu etika: apakah setiap pelaku citizen journalism perlu mematuhi standar-standar jurnalisme yang berlaku di kalangan wartawan selama ini sehingga produknya bisa disebut sebagai karya jurnalistik? Kita bicara soal kaidah jurnalistik yang selama ini diajarkan pada para wartawan—mungkinkah kaidah itu masih berlaku? Lazimnya, yang acap disentuh dalam wacana kaidah jurnalistik adalah soal objektivitas pemberitaan, dan kredibilitas wartawan/media.

7. Isu regulasi: perlukah adanya regulasi bagi pelaku citizen journalism? Kaitannya dengan etika, profesionalisme, komersialiasi, dan mutu content.

8. Isu ekonomi: munculnya situs-situs pelaku citizen journalism yang ramai dikunjungi menimbulkan konsekuensi ekonomi, yaitu pemasang iklan, yang jumlahnya tidak sedikit. Pers, menurut Jay Rosen pada dasarnya adalah media franchise atau public service franchise in journalism.

Kalau citizen media kini muncul dan juga bermain dalam ranah komersial, ini hanya merupakan konsekuensi ‘the enlarging of media franchise’. Isu ekonomi juga mengundang perdebatan lain. Kalau tadinya para kontributor citizen journalism memasukkan beritanya secara sukarela, kini mulai muncul perbincangan bagaimana seharusnya membayar mereka.

Ada bayaran, tentu ada standar yang harus dipatuhi sesuai bayarannya. Akhirnya, ini mengundang masuknya isu profesionalisme—sesuatu yang dalam konteks tertentu akhirnya malah ‘berlawanan’ dengan semangat citizen journalism.

9. Bagaimana nasib the old school journalism di masa depan dengan munculnya citizen journalism? Apakah tradisi old school journalism akan tetap bertahan di masa depan?
Itulah beberapa isu yang akan selalu diangkat dan didiskusikan dalam seminar mana pun yang berbicara ihwal citizen journalism.

Citizen Journalism di Indonesia

Saya mulai mengamati fenomena public journalism di pertengahan 1990-an. Satu hal yang menggelitik saya adalah apakah konsep development journalism atau jurnalisme pembangunan yang diajarkan dalam kurikulum studi jurnalistik tahun 1980-1995an (saya adalah salah satu produknya!) merupakan wujud public journalism? Saya putuskan, TIDAK.

Pertama, aspek partisipatorinya tidak nyata. Isu tetap diputuskan oleh media yang bersangkutan (acap atas ‘restu’ Departemen Penerangan)—walau slogan pembangunan, di manapun, selalu menyatakan mengabdikan diri pada kepentingan publik.

Kedua, ideologi jurnalisme pembangunan pada dasarnya adalah ideologi komunikasi pembangunan yang sudah bangkrut di tahun 80-an (dibangkrutkan oleh para penggagasnya sendiri seperti Everett M. Rogers), karena dianggap terlalu ideologis, utopis, dan totaliter.

Saya tertarik mengamati geliat citizen journalism di Indonesia lewat diskusi dengan teman-teman aktivis soal open source reporting yang tampaknya senada betul dengan tulisan-tulisan Pepih Nugraha di harian Kompas, yang mengangkat hal-ihwal participatory journalism.

Saya mengikuti Indonesiasatu.net yang memproklamirkan diri sebagai jurnalisme warga. Undangannya untuk menjenguk situs ini meyakinkan, tampilannya tergarap dengan baik (walau updatingnya lambat), ada profil warga teladan, tapi jujur saja saya kecewa karena tidak menemukan sesuatu yang berbeda dengan harian lain.

Ini seperti membaca berita lokal dari koran lokal yang bisa diakses lewat online media lokal, tanpa situs ini perlu memproklamirkan diri sebagai (sosok) pengusung jurnalisme warga.

Hyperlocalism yang saya bayangkan bukan seperti ini. Begitu banyak berita gado-gado tanpa struktur gagasan yang jelas, tanpa memperlihatkan pada pengunjung situsnya ini sebenarnya mau dibawa ke mana.

Ini murni open source reporting, tapi saya bertanya-tanya, apa ini wujud citizen journalism (alih-alih citizen reporting)?

Pesta Blogger Indonesia semakin menguatkan seruan citizen journalism. Menjamurnya blog di mana-mana memang fenomena luarbiasa (13.000 blog didirikan setiap hari!).

Tapi, ketika mengunjungi beberapa blog yang katanya banyak di-hit, saya hanya mendapatkan curhat-curhat personal tanpa melihat apa pentingnya ini bagi publik? (Walau, jujur saja, saya menikmati curhat personal itu).

Atau, isu publik macam apa yang mestinya bisa dimaknai dari curhat personal tersebut? Saya beranggapan, blog memang membuka kemungkinan open source reporting, menjamurnya blog dan blogger adalah kondisi yang kondusif untuk memunculkan citizen journalism, tapi sekadar ngeblog saja tidak cukup untuk diberi predikat sudah ber-citizen journalism.

Citizen journalism, dengan kata lain, is not that easy!

Sehari setelah Pesta Blogger Indonesia usai, Harian Republika mengumumkan lewat iklan besar-besaran akan menjadikan medianya sebagai pengusung jurnalisme warga dengan mengundang partisipasi warga lewat ruang yang disediakan bagi mereka untuk sejumlah isu: laporan utama, laporan traveling, sampai berbagi resep.

Sejauh ini saya lihat berbagi resep-lah yang menjadi wujud jurnalisme warga di Republika. Penulis resepnya jadi jurnalis, dan Ibu saya emoh ikut-ikutan karena tidak tahan dengan predikat ‘jurnalis warga’ lewat resepnya. “Saya emoh jadi wartawan! Apalagi karena resep saya,” kata Ibu saya.

“Berbagi resep ya berbagi resep ajalah, kenapa mesti jadi karya jurnalistik?” kata teman ngerumpi saya. “Sejak kapan resep masakan jadi berita jurnalisme warga?” ini kata rekan yang lebih serius, hehe…. Buat Republika, ini taktik bagus buat enlarging audience—dan enlarging outreach.

Mudah-mudahan dampaknya bagus pada sirkulasi dan iklan. Namun untuk menyebut ini sebagai wujud citizen journalism, saya masih risi, terus-terang saja. Saya lebih suka menyebutnya sebagai open access.

Dari beberapa fenomena tadi, saya belajar banyak hal. Salah satunya adalah soal isu. Saya belajar dari situ bahwa untuk masuk dalam dunia citizen journalism, tampaknya yang mesti dibawa bukan sekadar kemampuan standar pelaporan dan penyusunan berita ala 5W + 1 H.

Tapi juga persoalan bagaimana menjadikan isu ‘the public becomes personal, the personal becomes public’. Tanpa itu, saya pikir, publik cuma mendapatkan sederetan informasi tanpa makna.

Sebuah situs citizen journalism menjadi milik citizen, milik publik, kalau banyak pengunjungnya. Maka, pengelola citizen journalism harus mampu memelihara kandungan situsnya, dan mengundang partisipasi publik, untuk membuka diskusi dalam frame yang jelas (soal mutu, bolehlah diperdebatkan).

Tanpa semua ini, situs sebagus apapun, dan sebombastis apapun slogan jurnalismenya, hanya menjadi situs yang sunyi—diisi, ditonton, dikeploki oleh pengelolanya sendiri. Sayang, karena resources yang begitu potensial, jadi tersia-sia.

Bagaimanapun, saya gembira dengan fenomena baru dan tantangan serius yang dimunculkan oleh citizen journalism.

Saya kira efeknya akan baik buat keduanya, baik bagi publik maupun bagi media mainstream. Sebagaimana sistem pers kuat dibingkai dan dipengaruhi oleh local culture, saya juga percaya, wujud citizen journalism sendiri pada akhirnya akan bervariasi sesuai dengan local culture komunitas yang mengusungnya.

sumber rumahkiri.net